Demikian ungkapan Fyodor Mikaelovich Dostoevsky, seorang sastrawan yang hidup di Rusia pada abad ke-19.
Perenungan Dostoevsky merasuk ke dalam baris-baris yang membentuk dunia ciptaannya, menelisik kedalaman misteri manusia, dan berupaya menyingkap tabir kemanusiaan.
Di masa hidupnya, Dostoevsky mengetengahkan fakta-fakta historis peran bangsa Rusia dalam kerangka seruannya kepada masyarakat ( khususnya kaum intelektual) untuk kembali kepada pochva (tanah).
Gerakan pocvannichestvo menyerukan agar kaum intelegensia Rusia kembali kepada akar budayannya sendiri, kembali kepada kesederhanaan tradisi rakyat Rusia.
Melalui karya-karya novelnya, Dostoevsky mengartikulasikan sebuah "gugatan" terhadap kemapanan konsep yang dibangun oleh filsafat zaman modern.
Buku yang di tulis oleh Henry S. Sabari ini merupakan bentuk apresiasi terhadap karya sastra Dostoevsky yang sarat dengan muatan filosofis.
Dostoevsky adalah tipe pemikir pemberontak (buntovshyik) yang banyak mendapat perlawanan di masanya, namun di kemudian hari ternyata terbukti kebenaran buah pikirannya.
Modernisasi Sejak awal peradabannya, manusia selalu terusik untuk mempertanyakan dan merumuskan eksistensinya.
Ada begitu banyak konsep mengenai manusia sejak awal zaman Renaisans hingga abad 19.
Pada mulanya, manusia terkagum-kagum dengan kemanusiaan yang mereka miliki.
Hal ini dapat diketahui pada masa Yunani dan Romawi klasik melalui karya-karya seni, baik sastra maupun seni pahat dan lain-lain.
Sejalan waktu, manusia mulai mengembangkan sains sehingga tercipta suatu pemahaman yang berbeda dari masa-masa sebelumnya.
Lewat kemajuan sains, lahirlah beragam teknologi yang membantu manusia untuk memahami dan mengatasi dunianya.
Otonomi diri lantas menjadi penting.
Orang harus dapat mengatasi dunianya sendiri tanpa perlu takut pada tradisi-tradisi yang mengikat.
Tradisi kemudian dianggap sebagai belenggu bagi manusia untuk mencapai kemanusiaannya.
Pada masa itu, mereka yang masih berpegang teguh pada tradisi justru dianggap sebagai orang-orang yang tertinggal.
Di Rusia, modernisasi terjadi sejak pemerintahan Tsar Peter Agung yang mencoba menerapkan pemikiran-pemikiran yang terjadi di Eropa Barat.
Para mahasiswa dikirim untuk bersekolah di negara-negara Eropa Barat dan setelah mereka kembali diharapkan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari.
Namun lambat laun situasi tersebut justru menimbulkan krisis identitas bagi bangsa Rusia.
Pola pikir dan tingkah laku mahasiswa yang kembali dari Eropa kerap menjadi kebarat-baratan.
Dostoevsky sebagai seorang yang hidup di masa modernisasi melanda bangsanya, mencoba untuk menuangkan gagasannya tentang manusia.
Dalam proses modernisasi terjadi reifikasi (pembendaan) terhadap manusia. Dostoevsky melihat bahwa apa yang terjadi pada zaman modern, seperti liberalisme yang mementingkan kebebasan individu, hanyalah paradoks yang akhirnya menisbikan eksistensi orang lain.
Begitu pula sosialisme yang hanya menjadikan manusia layaknya sel-sel dalam suatu sistem.
Dostoevsky melihat apa yang terjadi di Barat tidak perlu di telan mentah-mentah untuk menjadi identitas bangsa mereka.
Relevasi Kemanusiaan Sejak dimulainya zaman modern, politisasi manusia semakin tidak sehat.
Dalam pemikiran Dostoevsky, manusia bukanlah benda-benda yang dapat dimanipulasi dan dikalkulasi menurut perhitungan untung-rugi yang berlaku bagi negara.
Manusia bukanlah perangkat untuk suatu sistem melainkan tujuan dari segala sistem yang ada.
Dengan kata lain, manusia tidak diciptakan agar suatu sistem berfungsi, melainkan suatu sistem diciptakan agar kemanusiaan semakin dikembangkan.
Dalam konteks politik Indonesia, di mana kaum lemah hanya dibela pada masa-masa kampanye partai politik,
Dostoevsky mengingatkan kita untuk tidak melakukan reifikasi terhadap manusia-manusia yang lemah.
Seluruh manusia adalah sama, tak ada yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Dengan demikian, tidak mungkin mengorbankan satu manusia pun untuk suatu sistem politik tertentu, misalnya, menyakiti orang yang lemah secara politis untuk kepentingan suatu kekuasaan tertentu.
Kita diingatkan untuk tidak menjadikan manusia sebagai sebuah tujuan atas apa yang akan kita lakukan.
Hal lain yang juga sangat relevan bagi kita sebagi sebuah bangsa adalah masalah identitas kebangsaan.
Saat ini, orang Indonesia kerap menganggap bahwa bahasa asing lebih menyenangkan, lebih tinggi derajatnya dari bahasa sendiri.
Seperti diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, bangsa kita amat malas untuk menggali bahasanya sendiri.
Dostoevsky mengingatkan kita untuk selalu bangga dengan bahasa juga budaya bangsa sendiri.
Dalam ranah agama, Dostoevsky menunjukkan bahwa agama kerapkali lupa akan pelajaran spiritual yang menjadi cita-citanya.
Agama seharusnya menjadi pembebas, bukan perampas kebebasan umatnya.
Agama harus membuka mata umat untuk melihat kebebasan yang dimilikinya, dan bukan menakut-nakuti orang dengan hukuman.
Manusia pada hakikatnya adalah bebas.
Namun begitu, kebebasan tidak berarti menisbikan eksistensi orang lain, melainkan bagaimana membebaskan sesama manusia dari segala bentuk penindasan dan kesengsaraan.
Lebih jauh, Dostoevsky mengingatkan kita kembali akan perlunya cinta kasih terhadap sesama.
Hubungan manusia harus dibina dengan cinta, bukan dengan perhitungan untung-rugi belaka.
Manusia tidak hidup sendiri, melainkan bersama- sama dengan orang lain untuk bereksistensi di dunia ini.
Kebersamaan tersebut tidak dapat di tolak atau dihindari, karena melalui sesamanya manusia akan semakin memahami nilai-nilai kemanusiaan.
1 komentar:
apakah ini saduran dari buku berjudul Dostoevsky : Menggugat Manusia Modern?
Posting Komentar