Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh _monggo pinarak ingkang sekeco_

Rabu, 11 Januari 2012

LIMA HAL YANG MENENTERAMKAN DIRI

   Tenteram adalah kondisi jiwa yang tenang, tak ada ketakutan, tak ada kekhawatiran, tak ada kekecewaan, berenergi positif besar. Secara prinsip, inilah kondisi jiwa yang selalu ingat, dekat, dan merasa selalu bersama dengan Yang Maha Kuasa. Maka dengan sangat indah, Pak Mario Teguh merumuskan : SAYA + TUHAN = CUKUP.

Sekarang, saya memilih 5 hal yang menjadi aplikasinya. Tentu banyak sekali aplikasi yang bisa kita lakukan. Anda pun bisa menambah dengan hal-hal lain yang mungkin lebih pas dengan diri anda. Nah, 5 hal yang menenteramkan diri yaitu:

1. Ibadah yang benar
Ibadah adalah kebutuhan jiwa. Bila kebutuhan diri tak terpenuhi maka kita akan gelisah. Sang jiwa akan merana karena ada kebutuhannya yang tak terpenuhi. Hal ini mirip dengan perut yang lapar. Bila kebutuhan makan-minum ini tak dipenuhi, maka diri fisik jadi lemas, pikiran pun kalut, emosi bersumbu pendek (mudah marah). Bila kebutuhan ibadah tak terpenuhi, akibatnya tak langsung terasa seperti lapar, tapi jauh lebih berbahaya. Jiwa jadi sakit. Jiwa yang sakit membuat pikiran dan emosi sangat sulit untuk positif dan menjadi sangat mudah untuk negatif. Fisik cenderung mudah melakukan keburukan dan kezaliman. Wah,…ngeri!

2. Menyelesaikan pekerjaan
Pekerjaan yang selesai dengan baik, membuat pikiran, perasaan, dan fisik bisa istirahat. Dan ini menenangkan. Pernah menunda pekerjaan yang harus dilakukan? Saya pernah. Dan rasanya nggak enak banget. Ada beban berat yang harus dirasakan. Maka selesaikan pekerjaan dengan baik. Kualitasnya sesuai standar. Waktunya tak terlambat. Dan memuaskan pemberi pekerjaan. Maka perasaan lega yang luar biasa akan menyergap anda.

3. Memaafkan kesalahan
Waktu kuliah, ada seorang teman yang menyakiti saya dalam masalah organisasi kemahasiswaan. Lama juga saya tak mau bertemu dengannya. Kalau pun harus ketemu, rasa sakit hati ini timbul kembali. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk belajar memaafkan. Saya maafkan beliau. Dan rasanya…wow. Enak banget. Plong. Lega. Tenang. Tenteram. Sekarang saya malah bisa bercanda lagi dengannya. Maka temans, jangan simpan dendam. Maafkan…maafkan…maafkan.

4. Menepati janji
Janji yang tak ditepati membuat kegelisahan. Ada rasa bersalah yang terus menghantui. Maka tepatilah janji. Bila memang setelah berjanji tak bisa ditepati, berjiwa besarlah. Minta maaf. Akui kesalahan. Lalu ganti janji tersebut dengan tindakan baik yang lain.

5. Menghindari dosa
Dosa itu memang nikmat. Karena nikmat banyak orang senang bergelimang dosa. Dosa terasa nikmat oleh bagian diri yang bernama ego/nafsu. Tapi untuk jiwa, dosa itu sangat menyakitkan. Maka menghindari dosa akan menimbulkan kesengsaraan bagi ego, tapi menimbulkan kenikmatan bagi jiwa.

Maksiat Menggelapkan Hati



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa zina. Saudara muslim jadi incaran untuk dijadikan bahan gunjingan (alias “ghibah”). Padahal sebagaimana daging saudaranya haram dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, haram untuk dijelek-jelekkan di saat ia tidak mengetahuinya. Gambar porno jadi bahan tontonan setiap kali browsing di dunia maya. Tidak hanya itu, yang lebih parah, kita selalu jadi budak dunia, sehingga ramalan primbon tidak bisa dilepas, ngalap berkah di kubur-kubur wali atau habib jadi rutinitas, dan jimat pun sebagai penglaris dan pemikat untuk mudah dapatkan dunia. Hati ini pun tak pernah kunjung sadar. Tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang, detik demi detik, di saat pergantian malam dan siang. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.
Ayat yang patut jadi renungan di malam ini adalah firman Allah Ta’ala,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)
Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”[1]
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.[2]
Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”[3]
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”[4]
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”[5]
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”[6]
Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]
Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran.
Ya Allah, tunjukkanlah hati kami ini agar selalu taat pada-Mu dan berusaha menjauhi setiap maksiat yang benar-benar telah Engkau larang, apalagi dosa syirik dan kekufuran. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Disusun di malam hari, 7 Syawal 1431 H (15/09/2010) di Panggang – Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Membuka Pintu Rizki dengan Istighfar????????????????????????????


Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga tercurah pada Rasulullah. “AJIMAT ROJO BRONO: Suatu ritual khusus yang apabila Anda menjalankan dengan benar, insyaAllah dalam waktu 3 hari Anda akan segera mendapat rizqi, untuk menambah modal atau melunasi hutang tanpa tumbal. Mahar kesepakatan”.
“GOMBAL GENDERUWO: Usaha seret, atau sering tertipu, banyak saingan, untuk apa bingung. Dengan ajimat Gombal Gendruwo bisnis akan kembali lancar, disegani dan dapat menetralkan kekuatan jahat yang ingin merusak. Mahar kesepakatan”.
Demikian tawaran pelancar rizki dalam sebuah iklan yang dipasang salah satu ‘Gus’ yang memimpin sebuah “Padepokan Ilmu Hikmah dan Seni Pernafasan Tenaga Dalam” di kota Malang.[1]
“Sarana spiritual kerezekian yang ada di majelis kami biasa dinamakan Bukhur Qomar. Untuk mendapatkan dayanya: tanamlah Bukhur Qomar di tempat usaha, lalu baca Sholawat Nariyah 11 x bakda subuh, untuk lafal Kamilatan dibaca 41 x. InsyaAllah dalam waktu tidak lama anda akan berhasil”.
Demikan jawaban seorang ‘Gus’ pemimpin sebuah “Majlis Taklim wa Dzikr” di Semarang, tatkala ditanya dalam sebuah rubrik “Konsultasi Gaib” tentang piranti pembuka rizki.[2]
Dua contoh di atas merupakan segelintir dari puluhan bahkan mungkin ratusan tawaran pembuka pintu rizki yang ada di media massa. Belum jika kita mau mencermati tawaran-tawaran pelancar lainnya yang ada di media elektronik dan dunia maya.
Yang jadi pertanyaan:
Bisakah para pelaku penawaran di atas mendatangkan dalil dari al-Qur’an dan hadits -yang merupakan pedoman hidup umat Islam- sebagai landasan dari amaliah atau ajian yang mereka obral? Ataukah Islam tidak menyentuh permasalahan rizki serta melewatkan hal penting tersebut dari sorotannya?
Seorang muslim yang cerdas, tentunya akan memilah dan memilih apa yang ia baca, melihat dan mendengar, serta memfilter hal-hal yang tidak memiliki landasan syar’i dari yang mempunyainya. Dia sadar betul bahwa hidupnya di dunia hanyalah sekali, sehingga tidak akan sembarangan tatkala menempuh suatu langkah atau mengambil suatu keputusan. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan nasibnya di akhirat kelak.
Dorongan mencari rizki kerap menyebabkan banyak orang terpental dari jalan yang lurus. Padahal Islam, sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh dimensi kehidupan seorang hamba, telah memberikan solusi yang begitu jelas dalam usaha memperlancar rizki.
Di antara tuntunan yang ditawarkan untuk menggapai tujuan tersebut: memperbanyak istighfar. Dalil tuntunan tersebut firman Allah ta’ala,
“فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً”
Artinya: “Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu” (QS. Nuh: 10-12)
Ayat di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa di antara buah istighfar: turunnya hujan, lancarnya rizki, banyaknya keturunan, suburnya kebun serta mengalirnya sungai.
Karenanya, dikisahkan dalam Tafsir al-Qurthubi, bahwa suatu hari ada orang yang mengadu kepada al-Hasan al-Bashri tentang lamanya paceklik, maka beliaupun berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian datang lagi orang yang mengadu tentang kemiskinan, beliaupun memberi solusi, “Beristighfarlah kepada Allah”. Terakhir ada yang meminta agar didoakan punya anak, al-Hasan menimpali, “Beristighfarlah kepada Allah”.
Ar-Rabi’ bin Shabih yang kebetulan hadir di situ bertanya, “Kenapa engkau menyuruh mereka semua untuk beristighfar?”.
Maka al-Hasan al-Bashri pun menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Namun sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh: “Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu”.
Adapun dalil dari Sunnah Rasul shallallahu’alaihiwasallam yang menunjukkan bahwa memperbanyak istighfar merupakan salah satu kunci rizki, suatu hadits yang berbunyi:
“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”
“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”  (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir).
Maka silahkan perbanyaklah istighfar, serta tunggulah buahnya… Jika buahnya belum terlihat juga, perbanyaklah terus istighfar dan jangan pernah berputus asa! Di dalam setiap kesempatan, kapan dan di manapun memungkinkan; di waktu-waktu kosong saat berada di kantor, ketika menunggu dagangan di toko, saat menunggu burung di sawah dan lain sebagainya..
Catatan penting:
1. Pilihlah redaksi istighfar yang ada tuntunannya dalam al-Qur’an ataupun hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan hindarilah redaksi-redaksi yang tidak ada tuntunannya. Di antara redaksi istighfar yang ada haditsnya:
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Astaghfirullâh. HR. Muslim. [3]
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْه
Astaghfirullôhal ‘azhîm alladzî lâ ilâha illâ huwal hayyul qoyyûm wa atûbu ilaih.
HR. Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al-Albani.[4]
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْت
“Allôhumma anta robbî lâ ilâha illa anta kholaqtanî wa anâ ‘abduka wa anâ ‘alâ ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’ûdzubika min syarri mâ shona’tu, abû’u laka bini’matika ‘alayya, wa abû’u bi dzanbî, faghfirlî fa innahu lâ yaghfirudz dzunûba illa anta”. HR. Bukhari.[5]
Redaksi terakhir ini kata Nabi shallallahu’alaihiwasallam merupakan sayyidul istighfar atau redaksi istighfar yang paling istimewa. Menurut beliau, fadhilahnya: barangsiapa mengucapkannya di siang hari dengan penuh keyakinan, lalu meninggal di sore harinya maka ia akan dimasukkan ke surga. Begitu pula jika diucapkan di malam hari dengan meyakini maknanya, lalu ia meninggal di pagi harinya maka ia akan dimasukkan ke surga.
2. Tidak ada hadits yang menentukan jumlah khusus tatkala mengucapkan istighfar, semisal sekian ratus, ribu atau puluh ribu. Yang ada: perbanyaklah istighfar di mana dan kapanpun kita berada, jika memungkinkan, tanpa dibatasi dengan jumlah sekian dan sekian, kecuali jika memang ada tuntunan jumlahnya dari sosok sang maksum shallallahu’alaihiwasallam.
3. Hendaklah tatkala beristighfar kita menghayati maknanya sambil berusaha memenuhi konsekwensinya berupa menghindarkan diri dari berbagai macam bentuk perbuatan maksiat. Hal itu pernah diisyaratkan oleh al-Hasan al-Bashri tatkala berkata, sebagaimana dinukil al-Qurthubi dalam Tafsirnya,
“استغفارنا يحتاج إلى استغفار”
“Istighfar kami membutuhkan untuk diistighfari kembali”.
Semoga Allah senantiasa melancarkan rizki kita dan menjadikannya berbarokah serta bermanfaat dunia akherat, amien.
Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
@ Kedungwuluh Purbalingga, 5 Rabi’uts Tsani 1431 H / 21 Maret 2010 M

Catatan Kaki
[1] Lihat: Tabloid Posmo edisi 566, 24 Maret 2010 (hal. 04).
[2] Periksa: Ibid (hal. 14).
[3] Redaksi lengkap haditsnya:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ”. قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ.
Tsauban bercerita, “Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta ya dzal jalali wal ikrom”. Al-Walid (salah satu perawi hadits) bertanya kepada al-Auza’i, “Bagaimanakah (redaksi) istighfar beliau?”. “Astaghfirullah, astaghfirullah” jawab al-Auza’i.
[4] Redaksi lengkap haditsnya adalah:
“مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ”
Barangsiapa mengucapkan “Astaghfirullahal azhim alladzi la ilaha illah huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih” niscaya akan diampuni walaupun lari dari medan perang”.
[5] Redaksi lengkap haditsnya sebagai berikut:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ: “اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ” إِذَا قَالَ حِينَ يُمْسِي فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ, وَإِذَا قَالَ حِينَ يُصْبِحُ فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ مِثْلَهُ”.
Dari Syaddad bin Aus, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Istighfar yang paling istimewa adalah: “Allôhumma anta robbî lâ ilâha illâ anta kholaqtanî wa anâ ‘abduka wa anâ ‘alâ ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, abû’u laka bini’matika ‘alayya wa abû’u laka bidzanbî, faghfirlî fa innahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ anta, a’ûdzubika min syarri mâ shona’tu” (Ya Allah, Engkaulah Rabbku itdak ada yang berhak disembang melainkan diriMu. Engkau telah menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu dan aku akan setia di atas perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku mengakui nikmat-Mu untukku dan aku mengkaui dosaku. Maka ampunilah diriku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa melainkan diri-Mu. Aku memohon perlindungan dari-Mu dari keburukan perbuatanku). Andaikan seorang hamba mengucapkannya di sore hari kemudian ia mati maka akan masuk surga atau akan termasuk penghuni surga. Dan jika ia mengucapkannya di pagi hari lalu meninggal maka ia akan mendapatkan ganjaran serupa”.

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Artikel www.tunasilmu.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id

Ingat Mati



Bagi yang masih hidup perbanyaklah mengingat mati ….. karena ……
Pertama, Mengingat mati adalah ibadah yang sangat dianjurkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi).
Kedua, Maut kapan saja bisa menghampiri dan tidak akan pernah keliru dalam hitungannya, maka jauhilah perbuatan dosa dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat lainnya.
{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ}
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34).
{وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا} [المنافقون : 11]
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila. datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Munafiqun: 11).
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,  “Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
Ketiga, Maut tidak ada yang mengetahui kapan datangnya melainkan Allah Ta’ala semata, tetapi dia pasti mendatangi setiap yang bernyawa, maka jauhilah hal-hal yang tidak bermanfaat selama hidup.
( كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ) [آل عمران : 185]
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari. kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185).
(إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ) [لقمان: 34 ]
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34).
Keempat, Siapa yang mati mulai saat itulah kiamatnya, tidak ada lagi waktu untuk beramal.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ كَانَ الأَعْرَابُ إِذَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوهُ عَنِ السَّاعَةِ مَتَى السَّاعَةُ فَنَظَرَ إِلَى أَحْدَثِ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ فَقَالَ «إِنْ يَعِشْ هَذَا لَمْ يُدْرِكْهُ الْهَرَمُ قَامَتْ عَلَيْكُمْ سَاعَتُكُمْ»
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Orang-orang kampung Arab jika datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertanya tentang hari kiamat, kapan datangnya, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kepada seorang yang paling muda dari mereka, kemudian beliau bersabda: “Jika hidup pemuda ini dan tidak mendapati kematian, maka mulai saat itulah kiamat kalian datang.” (HR. Muslim).
المغيرة بن شعبة رضي الله عنه: أيها الناس إنكم تقولون: القيامة، القيامة؛ فإن من مات قامت قيامته.
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian mengucapkan: “Kiamat, kiamat…maka ketahuilah, siapa yang mati mulai saat itulah dibangkitkan kiamat dia.” (Lihat kitab Al Mustadrak ‘Ala majmu’ al Fatawa, 1/88).
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang demikian itu, karena seorang manusia jika mati, maka dia masuk ke dalam hari kiamat, oleh sebab itulah dikatakan: ‘Siapa yang mati mulailah kiamatnya, setiap apa yang ada sesudah kematian, maka sesungguhnya hal itu termasuk dari hari akhir. Jadi, alangkah dekatnya hari kiamat bagi kita, tidak ada jaraknya antara kita dengannya, melainkan ketika sesesorang mati, kemudian dia masuk ke kehidupan akhirat, tidak ada di dalamnya kecuali balasan atas amal perbuatan. Oleh sebab inilah, harus bagi kita untuk memperhatikan poin penting ini.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
Kelima, Dengan mengingat mati melapangkan dada, menambah ketinggian frekuensi ibadah
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أكثروا ذكر هاذم اللذات: الموت، فإنه لم يذكره في ضيق من العيش إلا وسعه عليه، ولا ذكره في سعة إلا ضيقها”
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutuskan kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” HR. Ibnu HIbban dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’.
Ad Daqqaq rahimahullah berkata,
“من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة، ومن نسى الموت عوجل بثلاثة: تسويف التوبة، وترك الرضا بالكفاف، والتكاسل في العبادة”  تذكرة القرطبي : ص 9
Artinya: “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian maka dimuliakan dengan tiga hal: “Bersegera taubat, puas hati dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa kematian diberikan hukuman dengan tiga hal; menunda taubat, tidak ridha dengan keadaan dan malas ibadah” (Lihat kitab At Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, karya Al Qurthuby).
Keenam, Dengan mengingat mati seseorang akan menjadi mukmin yang cerdas berakal, mari perhatikan riwayat berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ»
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?”, beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”, orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?”, beliau menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal”. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Ibnu Majah).
Ketujuh, Hari ini yang ada hanya beramal tidak hitungan, besok sebaliknya.
Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ.
Artinya: “Dunia sudah pergi meninggalkan, dan akhirat datang menghampiri, dan setiap dari keduanya ada pengekornya, maka jadilah kalian dari orang-orang yang mendambakan kehidupan akhirat dan jangan kalian menjadi orang-orang yang mendambakan dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) yang ada hanya amal perbuatan dan tidak ada hitungan dan besok (di akhirat) yang ada hanya hitungan tidak ada amal.” (Lihat kitab Shahih Bukhari).

Islam, Iman dan Ihsan

Islam, Iman dan Ihsan


Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?

Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Hadits

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” (Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).

Kedudukan Hadits
Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.

Islam, Iman, dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Perhatian!
Para penuntut ilmu semestinya paham bahwa adakalanya bagian dari sebuah istilah agama adalah istilah itu sendiri, seperti contoh di atas.

Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegerttian sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.

Istilah Rukun Islam dan Rukun Iman
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi.Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

Batasan Minimal Sahnya Keimanan

1. Iman kepada Allah.
Iman kepada Allah sah jika beriman kepada Rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ dan sifat-Nya.

2. Iman kepada Malaikat.
Iman kepada Malaikat sah jika beriman bahwa Allah menciptakan makhluk bernama malaikat sebagai hamba yang senantiasa taat dan diantara mereka ada yang diperintah untuk mengantar wahyu.

3. Iman kepada Kitab-kitab.
Iman kepada kitab-kitab sah jika beriman bahwa Allah telah menurunkan kitab yang merupakan kalam-Nya kepada sebagian hambanya yang berkedudukan sebagai rasul. Diantara kitab Allah adalah Al-Qurán.

4. Iman kepada Para Rasul.
Iman kepada para rasul sah jika beriman bahwa Allah mengutus kepada manusia sebagian hambanya mereka mendapatkan wahyu untuk disampaikan kepada manusia, dan pengutusan rasul telah ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam.

5. Iman kepada Hari Akhir.
Iman kepada Hari Akhir sah jika beriman bahwa Allah membuat sebuah masa sebagai tempat untuk menghisab manusia, mereka dibangkitkan dari kubur dan dikembalikan kepada-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan atas kebaikannya dan balasan kejelekan atas kejelekannya, yang baik (mukmin) masuk surga dan yang buruk (kafir) masuk neraka. Ini terjadi di hari akhir tersebut.

6. Iman kepada Taqdir.
Iman kepada taqdir sah jika beriman bahwa Allah telah mengilmui segala sesuatu sebelum terjadinya kemudian Dia menentukan dengan kehendaknya semua yang akan terjadi setelah itu Allah menciptakan segala sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya.

Demikianlah syarat keimanan yang sah, sehingga dengan itu semua seorang berhak untuk dikatakan mukmin. Adapun selebihnya maka tingkat keimanan seseorang berbeda-beda sesuai dengan banyak dan sedikitnya kewajiban yang dia tunaikan terkait dengan hatinya, lesannya, dan anggota badannya.

Taqdir Buruk
Buruknya taqdir ditinjau dari sisi makhluk. Adapun ditinjau dari pencipta taqdir, maka semuanya baik.

Makna Ihsan
Sebuah amal dikatakan hasan cukup jika diniati ikhlas karena Allah, adapun selebihnya adalah kesempurnaan ihsan. Kesempurnaan ihsan meliputi 2 keadaan:

1. Maqom Muraqobah yaitu senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktifitasnya, kedudukan yang lebih tinggi lagi.

2. Maqom Musyahadah yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut.

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id

Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

Sabtu, 07 Januari 2012

Al-Waaqi'ah (Al-Waqi'ah) Artinya : Hari Kiamat (The Event Inevitable Cometh to Pass) Surat ke 56 = 96 Ayat (diwahyukan di Mekah)

Al-Waaqi'ah (Al-Waqi'ah)
Artinya : Hari Kiamat (The Event Inevitable Cometh to Pass)
Surat ke 56 = 96 Ayat   (diwahyukan di Mekah)


idzaa waqa'ati lwaaqi'at
[56:1] Apabila terjadi hari kiamat,
[56:1] When the great event comes to pass,

laysa liwaq'atihaa kaadziba
[56:2] tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya.
[56:2] There is no belying its coming to pass --

khaafidhatun raafi'a
[56:3] (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain),
[56:3] Abasing (one party), exalting (the other),

idzaa rujjati l-ardhu rajjaa
[56:4] apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya,
[56:4] When the earth shall be shaken with a (severe) shaking,

wabussati ljibaalu bassaa
[56:5] dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya,
[56:5] And the mountains shall be made to crumble with (an awful) crumbling,

fakaanat habaa-an munbatstsaa
[56:6] maka jadilah ia debu yang beterbangan,
[56:6] So that they shall be as scattered dust.

wakuntum azwaajan tsalaatsa
[56:7] dan kamu menjadi tiga golongan.
[56:7] And you shall be three sorts.

fa-ash-haabu lmaymanati maa ash-haabu lmaymanat
[56:8] Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.
[56:8] Then (as to) the companions of the right hand; how happy are the companions of the right hand!

wa-ash-haabu lmasy-amati maa ash-haabu lmasy-amat
[56:9] Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
[56:9] And (as to) the companions of the left hand; how wretched are the companions of the left hand!

wassaabiquuna ssaabiquun
[56:10] Dan orang-orang yang beriman paling dahulu,
[56:10] And the foremost are the foremost,    

 
ulaa-ika lmuqarrabuun
[56:11] Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.
[56:11] These are they who are drawn nigh (to Allah),

fii jannaati nna'iim
[56:12] Berada dalam jannah kenikmatan.
[56:12] In the gardens of bliss.

tsullatun mina l-awwaliin
[56:13] Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu,
[56:13] A numerous company from among the first,

waqaliilun mina l-aakhiriinaa
[56:14] dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian
[56:14] And a few from among the latter.

'alaa sururin mawdhuuna
[56:15] Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata,
[56:15] On thrones decorated,

muttaki-iina 'alayhaa mutaqaabiliin
[56:16] seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.
[56:16] Reclining on them, facing one another.

yathuufu 'alayhim wildaanun mukhalladuun
[56:17] Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,
[56:17] Round about them shall go youths never altering in age,

bi-akwaabin wa-abaariiqa waka/sin min ma'iin
[56:18] dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir,
[56:18] With goblets and ewers and a cup of pure drink;

laa yushadda'uuna 'anhaa walaa yunzifuun
[56:19] mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk,
[56:19] They shall not be affected with headache thereby, nor shall they get exhausted,

wafaakihatin mimmaa yatakhayyaruun
[56:20] dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih,
[56:20] And fruits such as they choose,

walahmi thayrin mimmaa yasytahuun
[56:21] dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.
[56:21] And the flesh of fowl such as they desire.

wahuurun 'iin
[56:22] Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,
[56:22] And pure, beautiful ones,

ka-amtsaalillu/lui lmaknuun
[56:23] laksana mutiara yang tersimpan baik.
[56:23] The like of the hidden pearls:

jazaa-an bimaa kaanuu ya'maluun
[56:24] Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.
[56:24] A reward for what they used to do.

laa yasma'uuna fiihaa laghwan walaa ta/tsiimaa
[56:25] Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa,
[56:25] They shall not hear therein vain or sinful discourse,

illaa qiilan salaaman salaamaa
[56:26] akan tetapi mereka mendengar ucapan salam.
[56:26] Except the word peace, peace.

wa-ash-haabu lyamiini maa ash-haabu lyamiin
[56:27] Dan golongan kanan, alangkah bagianya golongan kanan itu.
[56:27] And the companions of the right hand; how happy are the companions of the right hand!

fii sidrin makhdhuud
[56:28] Berada di antara pohon bidara yang tak berduri,
[56:28] Amid thornless lote-trees,

wathalhin mandhuud
[56:29] dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),
[56:29] And banana-trees (with fruits), one above another.

wazhillin mamduud
[56:30] dan naungan yang terbentang luas,
[56:30] And extended shade,

wamaa-in maskuub
[56:31] dan air yang tercurah,
[56:31] And water flowing constantly,

wafaakihatin katsiira
[56:32] dan buah-buahan yang banyak,
[56:32] And abundant fruit,

laa maqthuu'atin walaa mamnuu'a
[56:33] yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya.
[56:33] Neither intercepted nor forbidden,

wafurusyin marfuu'a
[56:34] dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
[56:34] And exalted thrones.

innaa ansya/naahunna insyaa
[56:35] Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung
[56:35] Surely We have made them to grow into a (new) growth,

faja'alnaahunna abkaaraa
[56:36] dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.
[56:36] Then We have made them virgins,

'uruban atraabaa
[56:37] penuh cinta lagi sebaya umurnya.
[56:37] Loving, equals in age,

li-ash-haabi lyamiin
[56:38] (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan,
[56:38] For the sake of the companions of the right hand.

tsullatun mina l-awwaliin
[56:39] (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu.
[56:39] A numerous company from among the first,

watsullatun mina l-aakhiriin
[56:40] dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.
[56:40] And a numerous company from among the last.


wa-ash-haabu sysyimaali maa ash-haabu sysyimaal
[56:41] Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu?
[56:41] And those of the left hand, how wretched are those of the left hand!

fii samuumin wahamiim
[56:42] Dalam (siksaan) angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih,
[56:42] In hot wind and boiling water,

wazhillin min yahmuum
[56:43] dan dalam naungan asap yang hitam.
[56:43] And the shade of black smoke,

laa baaridin walaa kariim
[56:44] Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
[56:44] Neither cool nor honorable.

innahum kaanuu qabla dzaalika mutrafiin
[56:45] Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan.
[56:45] Surely they were before that made to live in ease and plenty.

wakaanuu yushirruuna 'alaa lhintsi l'azhiim
[56:46] Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.
[56:46] And they persisted in the great violation.

wakaanuu yaquuluuna a-idzaa mitnaa wakunnaa turaaban wa'izhaaman a-innaa lamab'uutsuun
[56:47] Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali?,
[56:47] And they used to say: What! when we die and have become dust and bones, shall we then indeed be raised?

awa aabaaunaa l-awwaluun
[56:48] apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga)?"
[56:48] Or our fathers of yore?

qul inna l-awwaliina wal-aakhiriin
[56:49] Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian,
[56:49] Say: The first and the last,

lamajmuu'uuna ilaa miiqaati yawmin ma'luum
[56:50] banar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.
[56:50] Shall most surely be gathered together for the appointed hour of a known day.


tsumma innakum ayyuhaa dhdhaalluuna lmukadzdzibuun
[56:51] Kemudian sesungguhnya kamu hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan,
[56:51] Then shall you, O you who err and call it a lie!

laaakiluuna min syajarin min zaqquum
[56:52] benar-benar akan memakan pohon zaqqum,
[56:52] Most surely eat of a tree of Zaqqoom,

famaali-uuna minhaa lbuthuun
[56:53] dan akan memenuhi perutmu denganya.
[56:53] And fill (your) bellies with it;

fasyaaribuuna 'alayhi mina lhamiim
[56:54] Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.
[56:54] Then drink over it of boiling water;

fasyaaribuuna syurba lhiim
[56:55] Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum.
[56:55] And drink as drinks the thirsty camel.

haadzaa nuzuluhum yawma ddiin
[56:56] Itulah hidangan untuk mereka pada hari Pembalasan".
[56:56] This is their entertainment on the day of requital.

nahnu khalaqnaakum falawlaa tushaddiquun
[56:57] Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan?
[56:57] We have created you, why do you not then assent?

afara-aytum maa tumnuun
[56:58] Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.
[56:58] Have you considered the seed?

a-antum takhluquunahu am nahnu lkhaaliquun
[56:59] Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?
[56:59] Is it you that create it or are We the creators?

nahnu qaddarnaa baynakumu lmawta wamaa nahnu bimasbuuqiin
[56:60] Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,
[56:60] We have ordained death among you and We are not to be overcome,

'alaa an nubaddila amtsaalakum wanunsyi-akum fii maa laa ta'lamuun
[56:61] untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
[56:61] In order that We may bring in your place the likes of you and make you grow into what you know not.

walaqad 'alimtumu nnasy-ata l-uulaa falawlaa tadzakkaruun
[56:62] Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)?
[56:62] And certainly you know the first growth, why do you not then mind?

afara-aytum maa tahrutsuun
[56:63] Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.
[56:63] Have you considered what you sow?

a-antum tazra'uunahu am nahnu zzaari'uun
[56:64] Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?
[56:64] Is it you that cause it to grow, or are We the causers of growth?

law nasyaau laja'alnaahu huthaaman fazhaltum tafakkahuun
[56:65] Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu heran dan tercengang.
[56:65] If We pleased, We should have certainly made it broken down into pieces, then would you begin to lament:

innaa lamughramuun
[56:66] (Sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian",
[56:66] Surely we are burdened with debt:

bal nahnu mahruumuun
[56:67] bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa.
[56:67] Nay! we are deprived.

afara-aytumu lmaa-alladzii tasyrabuun
[56:68] Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.
[56:68] Have you considered the water which you drink?

a-antum anzaltumuuhu mina lmuzni am nahnu lmunziluun
[56:69] Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang menurunkannya?
[56:69] Is it you that send it down from the clouds, or are We the senders?

law nasyaau ja'alnaahu ujaajan falawlaa tasykuruun
[56:70] Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?
[56:70] If We pleased, We would have made it salty; why do you not then give thanks?
afara-aytumu nnaarallatii tuuruun
[56:71] Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu).
[56:71] Have you considered the fire which you strike?

a-antum ansya/tum syajaratahaa am nahnu lmunsyi-uun
[56:72] Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?
[56:72] Is it you that produce the trees for it, or are We the producers?

nahnu ja'alnaahaa tadzkiratan wamataa'an lilmuqwiin
[56:73] Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.
[56:73] We have made it a reminder and an advantage for the wayfarers of the desert.

fasabbih bismi rabbika l'azhiim
[56:74] Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.
[56:74] Therefore glorify the name of your Lord, the Great.

falaa uqsimu bimawaaqi'i nnujuum
[56:75] Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.
[56:75] But nay! I swear by the falling of stars;

wa-innahu laqasamun law ta'lamuuna 'azhiim
[56:76] Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
[56:76] And most surely it is a very great oath if you only knew;

innahu laqur-aanun kariim
[56:77] Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,
[56:77] Most surely it is an honored Quran,

fii kitaabin maknuun
[56:78] pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),
[56:78] In a book that is protected

laa yamassuhu illaa lmuthahharuun
[56:79] tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
[56:79] None shall touch it save the purified ones.

tanziilun min rabbi l'aalamiin
[56:80] Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.
[56:80] A revelation by the Lord of the worlds.
afabihaadzaa lhadiitsi antum mudhinuun
[56:81] Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini?
[56:81] Do you then hold this announcement in contempt?

wataj'aluuna rizqakum annakum tukadzdzibuun
[56:82] kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.
[56:82] And to give (it) the lie you make your means of subsistence.

falawlaa idzaa balaghati lhulquum
[56:83] Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,
[56:83] Why is it not then that when it (soul) comes up to the throat,

wa-antum hiina-idzin tanzhuruunaa
[56:84] padahal kamu ketika itu melihat,
[56:84] And you at that time look on --

wanahnu aqrabu ilayhi minkum walaakin laa tubshiruun
[56:85] dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat,
[56:85] And We are nearer to it than you, but you do not see --

falawlaa in kuntum ghayra madiiniin
[56:86] maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah) ?
[56:86] Then why is it not -- if you are not held under authority --

tarji'uunahaa in kuntum shaadiqiin
[56:87] Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?
[56:87] That you send it (not) back -- if you are truthful?

fa-ammaa in kaana mina lmuqarrabiin
[56:88] adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
[56:88] Then if he is one of those drawn nigh (to Allah),

farawhun warayhaanun wajannatu na'iim
[56:89] maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta jannah kenikmatan.
[56:89] Then happiness and bounty and a garden of bliss.

wa-ammaa in kaana min ash-haabi lyamiin
[56:90] Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan,
[56:90] And if he is one of those on the right hand,

fasalaamun laka min ash-haabi lyamiin
[56:91] maka keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan.
[56:91] Then peace to you from those on the right hand.

wa-ammaa in kaana mina lmukadzdzibiina dhdhaalliin
[56:92] Dan adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat,
[56:92] And if he is one of the rejecters, the erring ones,

fanuzulun min hamiim
[56:93] maka dia mendapat hidangan air yang mendidih,
[56:93] He shall have an entertainment of boiling water,

watashliyatu jahiim
[56:94] dan dibakar di dalam jahanam.
[56:94] And burning in hell.

inna haadzaa lahuwa haqqu lyaqiin
[56:95] Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.
[56:95] Most surely this is a certain truth.

fasabbih bismi rabbika l'azhiim
[56:96] Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar.
[56:96] Therefore glorify the name of your Lord, the Great.